Menimbang Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual dalam Konteks Perlindungan Hukum yang Holistik
Aista
Wisnu Putra
Selama tahun 2018
Indonesia mengalami kasus kejahatan seksual yang sangat bervariasi. Mulai dari
anak kecil yang diperkosa sampai tewas dan robek vaginanya di Bengkulu. Lalu
pemaksaan pembuatan video porno anak laki-laki di bawah umur di Jawa Barat.
Kemudian kasus adik di perkosa kakaknya di Jambi hingga hamil yang ironinya
justru ibu kedua anak tersebut melakukan aborsi kepada bayi. Kemudian kasus
Baiq Nuril, guru honorer di Mataram yang merekam percakapan bermuatan pelecehan
seksual antara dirinya dan kepala sekolah untuk dijadikan bukti pelecehan,
tetapi ironisnya Baiq dituntut balik oleh pelaku dengan tuduhan menyalahi
Undang-Undang Informasi dan Transmisi Elektronik (UU ITE). Terakhir kasus
mahasiswi Universitas Gadjah Mada (UGM ) yang diperkosa oleh rekannya saat
Kuliah Kerja Nyata (KKN) namun penanganan kasus dari kampus yang lambat dan
hanya dianggap pelanggaran ringan oleh pihak kampus. Kasus kekerasan seksual
lain juga masih banyak yang belum ditangani dengan maksimal oleh penegak hukum
dan masyarakat.
Lalu siapa yang dirugikan dalam kasus kekerasan seksual?
Tentu banyak pihak, terutama korban dan pihak keluarga yang namanya tercemar.
Pelaku dan keluarga secara otomatis pantas Namanya jelek di masyarakat. Tetapi
korban juga mengalami ejekan dari masyarakat karena dianggap sudah tidak “suci”
lagi. Begitu juga tempat tinggal, tempat bekerja, sekolah, dan pemerintah juga
akan tercoreng namanya karena dianggap tidak dapat mendidik anggotanya dengan
baik. Oleh karena itu diperlukan sebuah penanganan hukum yang menyeluruh
(holistik), berupa pencegahan, pendidikan, penanganan yang cepat, hukuman yang
berat, perlindungan dan pemulihan bagi korban.
Apakah Indonesia sekarang sudah ada payung hukum anti
kekerasan seksual yang holistik? Harus saya akui belum. Di Indonesia payung
hukum anti kekerasan seksual ada di rumusan pasal pemerkosaan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat kelemahan yakni harus ada kekerasan
fisik, ancaman, paksaan, dan unsur di luar pernikahan. Padahal pemerkosaan juga
bisa terjadi karena obat bius sehingga tanpa paksaan, adanya kekerasan mental
yang justru lebih berbahaya, dan kasus kumpul kebo yang belum bisa diakomodir
oleh hukum negara sehingga rentan terjadi main hakim sendiri. Di bidang
pencegahan dan pendidikan, belum ada kewajiban pemerintah untuk memberikan
pemahaman kepada masyarakat bahaya yang ditimbulkan oleh kejahatan kekerasan seksual.
Sehingga masih banyak yang berpikir hukumannya ringan dan tidak peduli dengan
nasib korban.
Menelisik tentang korban lebih dalam. Korban sebagai
pihak yang paling dirugikan juga belum mendapat perlindungan hukum lebih,
seperti biaya rehabilitasi yang tidak tahu harus dibebankan kepada siapa.
Proses persidangan memang sudah tertutup sehingga korban tidak banyak
dirugikan, namun isi dari sidang dapat dengan mudah dibocorkan oleh para pihak
yang ikut sidang. Hal ini karena tidak ada sanksi bagi pihak yang membuka
informasi pada sidang tertutup kepada media atau masyarakat. Korban juga sering
dijadikan sebab dari adanya kekerasan seksual karena pakaian atau perilaku yang
mengundang niat jahat pelaku. Hal ini yang disebut pemaafan kejahatan seksual (Rape Culture).
Sekarang mari kita timbang RUU Penghapusan kekerasan
seksual, apakah sudah cukup dapat menangani permasalahan kekerasan seksual di
Indonesia. Isi RUU tersebut adalah kewajiban bagi negara untuk menghapus
kekerasan seksual meliputi lima tindakan yakni pencegahan, penanganan,
perlindungan, pemulihan korban, dan penindakan pelaku. Ingat pengertian negara
memiliki tiga unsur yakni pemerintah yang berdaulat, rakyat, dan wilayah. Oleh
karena itu semua orang juga dapat berkontribusi dalam penghapusan kekerasan
seksual. Lima tindakan tersebut sudah termasuk dalam penegakan hukum yang
bersifat holistik karena memiliki unsur pencegahan tindak kejahatan,
pencerdasan masyarakat agar tidak berbuat pelanggaran atau kejahatan, bentuk
penanganan dan hukuman yang paling baik bagi pelaku dan korban lalu yang paling
penting adalah pemulihan korban. hal ini sejalan dengan teori hukum untuk
memulihkan kembali akibat tindak pidana menjadi seperti semula (restorative justice theory).
Sekarang mari kita teliti rumusan tindakan tersebut di
RUU Penghapusan kekerasan seksual. Dalam bidang pencegahan muncul kewajiban
Lembaga pendidikan untuk memasukkan materi penghapusan Kekerasan Seksual
sebagai bahan ajar dalam kurikulum, non kurikulum, dan/atau ekstra kurikuler pendidikan
usia dini sampai perguruan tinggi. Hal ini tentu efektif untuk mencegah salah
satu sumber kejahatan seksual yakni Lembaga pendidikan. Namun perlu
diperhatikan juga bahwa terkadang pelaku atau korban bukan hanya siswa tetapi
juga guru atau pegawai sekolah jadi perlu juga pendidikan untuk semua civitas akademia
Lembaga pendidikan. Kemudian di RUU juga ada kewajiban pendidikan anti
kekerasan seksual untuk pegawai Lembaga negara maupun korporasi swasta. Lalu
pembangunan fasilitas publik yang terbuka sehingga mengurangi potensi melakukan
kejahatan secara tertutup.
Dalam RUU tersebut terdapat delapan rumusan tindak pidana
kekerasan seksual yakni, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, pemaksaan
kontrasepsi, pemaksaan aborsi, perkosaan, pemaksaan perkawinan, pemaksaan
pelacuran, perbudakan seksual, dan/atau penyiksaan seksual. Delapan rumusan
tersebut merupakan bukti bahwa tugas RUU menanggulangi kekerasan seksual
menjadi lebih luas. Hal ini merupakan sesuatu yang positif karena dengan banyak
rumusan maka akan lebih jelas sebuah kejahatan masuk dalam pasal mana seperti
pelecehan seksual yang hanya berhubungan dengan bagian tubuh saja tanpa
mengharuskan ada penetrasi penis ke vagina lalu sebuah delik baru tentang
pemaksaan kontrasepsi hal ini dilakukan untuk melindungi kepentingan suami
istri dalam berhubungan sehingga menjamin kehidupan rumah tangga yang lebih
menghormati pihak lain. Namun harus diperhatikan bahwa rumusan tersebut
mengatur hal yang bersifat privat seperti hubungan suami istri atau perkawinan
yang dipaksa. Sehingga perlu rumusan yang lebih detail agar tidak terjadi multi
tafsir. Kemudian rumusan juga jangan sampai bertabrakan dengan tindak pidana
lain yang diatur di peraturan perundangan yang lain.
Kemudian penjabaran tentang restorative justice theory tertuang dalam hak korban, keluarga
korban dan saksi. Hal ini merupakan pembangunan yang positif bagi penegakan
hukum karena ada kewajiban bagi negara bahkan pelaku untuk melindungi hak
korban dan pihak terkait dengan korban seperti kerahasiaan identitas, pemulihan
fisik mental, psikologis, ekonomi, sosial budaya, dan ganti kerugian. Hak
tersebut juga dirinci mulai dari sebelum dan selama proses peradilan, sampai
masa pemulihan. Namun perlu digarisbawahi mengenai pemulihan ganti kerugian
jangan sampai seperti membayar bagian tubuh korban tetapi untuk memulihkan agar
kembali sehat seperti semula. Dalam proses pemenuhan hak juga ada kewajiban
pemerintah daerah untuk mendirikan pusat
pelayanan terpadu bagi korban agar mudah mengaksesnya.
RUU juga mengatur secara rinci tentang ganti kerugian,
kelembagaan dan tugas pusat pelayanan terpadu, standar pendamping rehabilitasi,
pengawasan oleh komnas perempuan, dan kerja sama internasional. Serta tak lupa
ketentuan pidana untuk para pelaku. Hal ini tentu menjadi semangat bagi para
pejuang hak asasi manusia untuk mewujudkan Indonesia yang bebas dari kekerasan
seksual. Namun bagaimana nasib RUU tersebut? Sampai sekarang RUU belum disahkan
oleh DPR. Draf awal RUU awalnya sudah masuk tahun 2014 di DPR dan masuk ke
agenda program legislasi nasional pada tahun 2016. RUU Penghapusan anti
kekerasan seksual memang belum sempurna karena masih ada perdebatan rumusan
baik antar anggora
dewan maupun dengan komnas perempuan. Namun sudah ada gerakan untuk menuju
perlindungan hukum yang menyeluruh dalam RUU tersebut. Seperti yang banyak
orang bijak katakan untuk sedia payung sebelum hujan. Sebelum hujan ada
tangisan para korban mari kita persiapkan payung, rumah dan hiburan. Agar tidak
ada lagi tangisan tersebut, atau apabila harus menangis maka menangislah di
tempat yang tepat tanpa harus diejek yang lain.
Comments
Post a Comment