CERITA PENDEK ISLAMI
MEMORI CINTA FOTOGRAFIS
Ahmad Isa W.
Malam
mulai larut, hampir satu jam lagi hari berganti menurut standar nasional namun
kegiatan di Muhibbul Ulum justru semakin hidup. Ada yang terlihat riang sedang
berbincang-bincang dengan sesama penghuni pondok atau lebih dikenal dengan
sebutan santri ditemani kopi dan rokok. Ada juga yang sibuk dengan HP atau
Laptopnya baik mengerjakan tugas kuliah atau sekadar membuka sosial media. Tentunya
ada juga yang khusyuk membuka kitab
untuk memahami pelajaran agama atau syahdu sendiri menderes kitab. Sebuah pemandangan
umum dalam pondok pesantren tua dan tradisional yang sangat dekat dengan salah satu kampus besar di
Yogyakarta.
Wisnu
adalah salah satu dari banyak santri di tempat itu. Malam ini dia duduk santai
berdiskusi di serambi depan kamarnya bersama empat orang temannya. Malam ini dia
bertindak sebagai moderator tidak resmi karena memantik diskusi dengan topik
mimpinya. “Kang, kemarin siang aku kok ngimpi aneh ya? Jarang-jarang ngimpi
nikah.” Jati sebagai yang paling muda dan kocak menjawab ”Hati-hati lo kang ,
ngimpi nikah berarti kamu bakal mati”. “Ngawur kamu Jat, setiap orang yo bakal
mati kan? Mending kamu cerita kepada pak ustadz Nur aja nu!” timpal Kholiq
sebagai paling tua di forum tersebut. “hm… benar juga kang Kholiq, saya coba
konsultasikan kepada yang lebih tahu juga, soalnya di mimpi saya bertemu beliau
juga setelah nikah”. Robi tak mau ketinggalan memberi saran “
bener Nu Biasanya guru
selalu punya pendapat yang baik terhadap masalah muridnya”.
Esoknya
Wisnu menghadap ke Pak Ustadz Nur, Ustadz muda pengasuh pesantren sebagai
pengganti ayahnya Kyai Muhammad yang baru saja meninggal bulan puasa kemarin.
“Ada apa kang Wisnu? Sepertinya ada hal penting yang harus dibicarakan.” Sapa Pak Ustadz yang baru keluar dari ruang
dalam masjid dan menemui Wisnu di serambi. Wisnu menyambut tangan Ustadnya
dengan lembut serta menciumnya dengan lembut “Iya pak Ustadz, saya ingin
konsultasi masalah mimpi saya”. Setelah selesai bercerita Pak Ustadz Nur
menjawab dengan wibawa yang tak pernah lepas dari suara serta perangainya “Kang
Wisnu kan memang sudah lama di pesantren, sudah hampir 10 tahun, sekarang sudah
hampir selesai menyetorkan hafalannya, jadi memang sudah saatnya di umur yang
ke 29 ini menikah.” Wisnu mendengar dengan seksama sambil mengangguk merenungi
perjalanan hidupnya selama mondok nyambi kuliah dari awal sampai sekarang
mengabdi serta mengajar di pesantren sambil tetap mencari penghasilan sebagai
guru les privat. “Sekarang coba mulai cari seseorang wanita yang cocok dengan
diri kamu, nanti nikahnya setelah selesai hafalannya kira-kira 2 bulan lagi,
sambil cari kerja yang tetap tidak apa-apa”. Wisnu hanya mengangguk dan minta
izin untuk pulang ke kampung halamannya di Semarang.
Di
rumahnya Wisnu beristirahat santai dengan ditemani buku ringan tentang bisnis online. Pagi ini ayahnya berangkat mengajar
di SMP dan ibu pergi belanja bahan makanan tidak jauh dari rumah. Dia menutup bukunya menggeser jari jemarinya
di HP miliknya dan melihat riwayat
perpesanan. Sudah hampir lima kali dalam tiga bulan ini Dia menolak
lamaran wanita yang ingin menikahinya. Baik lewat langsung orangnya yang
telepon, pesan atau
perantara. Wisnu memang laki-laki yang lumayan tampan tapi sampai sekarang
belum ada perempuan yang masuk ke sanubarinya, hanya sebatas kekaguman di mata.
HP dia banting dan mulai memandangi buku-buku di kamarnya, terlihat semua
berdebu karena lama tidak dibaca. Sampai matanya tertuju pada tumpukan atas rak buku yang diisi dengan kitab suci
dan buku agama. Ada satu buku yang menarik perhatiannya yakni kitab juz amma,
buku yang pertama kali dia kenal dan pelajari dalam bisa membaca tulisan bahasa
Arab Khususnya AL Quran. Diambilnya buku tersebut kemudian jatuhlah sebuah
kertas dari dalam lembaran buku tersebut. Diambilnya kertas tersebut sehingga
terlihat tulisan yakni
“Nila besok jadi
Istriku ya biar aku rajin ngaji”. Ya itu adalah tulisan Wisnu dulu kepada
seorang perempuan dan juga ada tulisan di bawahnya yang lebih rapi yakni “Iya, aku mau jadi istrinya Wisnu
biar kita bisa ngaji bareng terus ”.
Sebuah kenangan kembali
muncul. Nila adalah teman ngaji masa kecil Wisnu dan juga cinta pertamanya. Dua
orang anak kecil yang masih kelas 4 SD waktu itu tapi rajin mengaji Bersama
kepada ustadz sehabis maghrib. Teringat wajah cantik bersih nan Putih milik
Nila dan senyumnya seperti diputar ulang kembali dari ingatan Wisnu. Membayangkan cinta pertamanya membuat
sanubari Wisnu deg-degan. “Apa ini yang dinamakan cinta pertama mekar kembali
ya?” tanyanya pada diri sendiri di depan kamar sambil membayangkan wajah Nila.
Terakhir bertemu Nila adalah saat lulus SD. mereka berdua memang berbeda
sekolah tetapi tetap mengaji sampai lulus SD. Hingga Info terakhir yang didapat
Wisnu ketika Nila berangkat ke Kota Malang untuk menempuh pendidikan pondok
pesantren dan melanjutkan di MTs. Wisnu coba mencari sosial media milik Nila di
Facebook atau Instagram milik Nila tapi tidak ditemukan. Mungkin sampai
sekarang Nila tidak punya sosial media karena larangan dari pondok pesantren di
Jombang yang ketat. Wisnu bingung ingin mengetahui kabar cinta pertamanya karena
alamat rumahnya juga sudah pindah dan
berpikir
bahwa Ustadz Shodiqin pasti
tahu alamat rumah Nila. “Besok
sowan ke rumah Ustadz Shodiqin saja, barangkali ketemu jodoh”
Esoknya
Wisnu mendatangi rumah guru masa kecilnya yang tidak jauh dari rumahnya. Di
depan rumah sederhana itu dulu dia ngaji Bersama cinta pertamanya.
“Assalamualaikum” kata Wisnu sambil mengetuk pintu rumah sederhana itu. Tak
lama terdengar jawaban “Waalaikumussalam” dan pintu terbuka. Terlihat
seorang laki-laki tua dengan peci hitam lusuh berpadu dengan jenggot putih dan
kaos putih lengan pendek beserta sarung batik. “Wisnu bukan ya?” tanya
laki-laki tersebut. “Iya Pak Ustadz” sambil merangkul tangan kanan ustadnya dan
menciumnya. “Ya Allah lama ndak ketemu, mari sini silakan duduk”. Mereka berdua
melanjutkan dengan pembicaraan wajar antara murid dan guru yang sudah lama
tidak bertemu. Terlalu nikmatnya mereka sampai Wisnu lupa untuk
mengutarakan tujuannya datang ke sana. Tiba-tiba datang perempuan dari dalam
rumah “Bah jangan lupa ya hari ini ada undangan dari Pak Jumari untuk mengisi
pengajian pernikahan jam 8” Istri pak ustadz Shodiqin mengingatkan suaminya. “Oh iya Bener
dek tapi hujan ik kakiku yo agak sakit ndak bisa nyetir” jawab Pak Shodiqin. Bu
Shodiqin melihat ke arah
Wisnu, “Oh ini nak Wisnu udah gede sekarang ya” Wisnu sambil malu-malu menjawab
“Iya bu”. Bu Sodiqin tiba-tiba memberi pertanyaan “Mas Wisnu bisa nyetir
mobil?”Wisnupun menjawab ”Iya bisa bu”. “Gimana kalau aku minta tolong antarkan
ke rumah pak Jumari di Desa sebelah?” Tanya Pak Shodiqin ke Wisnu. “Siap pak
ustadz ” Wisnu tidak bisa menolak dan meneruskan perbincangan mereka di perjalanan.
Hujan
deras membawa dua orang laki-laki ini melewati jalan batas desa sampai
ke lokasi hajatannya
dari rumah pak Sodiqin. Pak Sodiqin disambut dengan hangat. Setelah istirahat sebentar di
tempat transit Pak Sodiqin naik panggung untuk memberikan ceramah di acara
pernikahan ini. Sembari mendengarkan ceramah Wisnu melihat di sekeliling rumah
dan acara pernikahan. Dia kaget melihat pengantin putri yang wajahnya sangat
mirip dengan wajah cinta pertamanya. Wisnu curiga melihat hiasan nama dua
pengantin tersebut. Bersyukur bahwa nawa pengantin wanitanya bukan Nila tetapi
Jingga Sekarmelati. Tidak mungkin Nila berganti nama ujar Wisnu dalam
hati. Kemudian Ceramah selesai dan saatnya menikmati hidangan. Wisnu dan Pak
Sodiqin menikmati hidangan di tempat khusus Bersama tuan rumah yakni orang tua
mempelai putri ”Wah
ini anaknya pak Sodiqin ya?” tanya seorang bapak yang sepertinya adalah pemilik
hajat tersebut. Sebelum Wisnu menjawab Pak Sodiqin menjawab “Bukan pak Jumari,
anak saya masih di Mekkah untuk belajar dan belum pulang, ini muridku Wisnu
yang dulu ngaji bareng sama anakmu”. Wisnu terkejut mendengar percakapan
tersebut dan bersiap atas segala hal yang akan terjadi selanjutnya. “Oh bareng
Nila dulu ya, kamu putranya pak Wafi ya?” tanya
pak Jumari “Iya pak” Jawab Wisnu gugup.
“Oh sekarang sudah besar. Sudah menikah?” tanya pak
Jumari lagi. “Alhamdulilah belum, pak”
jawabnya
sambil berharap ada kesempatan besar setelah ini. Sampai percakapan terputus oleh beberapa
tamu berpamiitan.
Selesai dengan kesibukan menerima
izin pamit dari para tamu Pak Sodiqin dan Wisnu juga ingin pamit. “Pamit dulu
ya Pak Jumari”. “Terima
kasih pak Sodiqin dan Mas Wisnu” hati Wisnu sangat senang dipanggil dengan
gelar mas
oleh ayah dari cinta pertamanya. Sampai dia memberanikan diri bertanya “Kalau
boleh tahu Nila sekarang di mana ya pak? Kok ndak kelihatan?”. Tiba-tiba
suasana menjadi hening dan pak Jumari diam sebentar. “Kamu tidak tahu kabar
Nila, Nu?” Tanya Pak Sodiqin. Sebelum Wisnu menjawab Pak Jumari langsung
berkata “Mas Wisnu, Nila sekarang sudah di Kauman semenjak lima tahun yang
lalu”. Wisnu terkejut dan coba bertanya ke pak Jumari “Maksudnya pak?” Iya dia sudah meninggal karena
penyakit demam berdarah sejak
dua tahun dia lulus MA dan mengahafal Quran. Sekarang dia sudah di Kuburan
Kauman”. Wisnu terkejut bukan kepalang setelah hatinya di kejutkan
oleh Jingga yang mirip
Nila sekarang dia dikejutkan oleh kabar cinta pertamanya. Pak Sodiqin langsung
menyela keadaan dan memerintahkan
Wisnu mengambil mobil dan pulang ke rumah pak Sodiqin. Di Jalan Wisnu berfikir mungkin
ini cobaan agar dia
menyelesaikan hafalan
Qurannya lebih dulu, jangan sampai terganggu oleh memori-memori lain yang tak perlu. Pak Ustadz Nur
mungkin sebenarnya memberi ijin tapi dengan sarat jangan sampai masalah cinta
menjadikan kacau hafalannya. Wisnu sadar
bahwa cinta pertama yang harus didahulukan sekarang adalah kitab sucinya terlebih dahulu,
bukan yang lain.
Comments
Post a Comment